Friday 31 July 2020

Cerita seru hamil dan melahirkan di tengah situasi Covid-19 : Part 1

Gak terasa sudah lebih dari sebulan umur anakku, dan sekarang menjelang ulang tahun pernikahan yang ke-4. Kuputuskan untuk cerita pengalaman seruku hamil dan melahirkan ini untuk merayakan mya, 31 Juli 2020. Saking serunya cerita hamil dan melahirkan yang kemarin, jadi udah gak sabar buat cerita, yang sedihnya, di tengah situasi pandemik Covid-19. Supaya ga capek ceritain ke satu per satu orang, karena agak banyak yang nanya, dan lebih banyak lagi yang pengen saya ceritain tapi ga nanya haha. Mulai dari pertama hamil, terus melahirkan, emang agak agak heboh (banget) penuh warna-warni, fenomenal lah. LOL. Selamat membaca!

Bermula dari awal tahun 2020 yang indah, usia kehamilanku memasuki bulan ke 5, saat itu kebetulan adikku kebagian dinas ke Korsel. Dia pengen juga transit Hong Kong, kami pun ngobrolin kira kira enaknya jalan winter ke mana ngapain aja, dsb. Saya sih saran transit paling enak Spore karena kecil jadi bisa dapet banyak tempat wisata, dan saya ga pernah ke HK jadi ga bisa kasih banyak saran. Dia tetap sepenasaran itu pengen ke HK. Tiket di booked, dan besoknya! ternyata! dia browsing ada virus pneumonia Wuhan China yang heboh. Korban sudah ada di Korsel, dan tentu HK. Langsung lah kami agak panik, terutama dia, langsung reschedule dsb walau mau ga mau harus transit bentar doang di HK. Di Korsel sana, pokoknya saya selalu ingetin masker, susu, vitamin c merupakan kewajiban supaya kekbalan tubuh terjaga. Alhamdulillah, adikkuh sampai rumahnya di Balongan dengan selamat dan sehat.

Kebayang ga sih, keluarga kita ada di tempat wabah, dan kita lagi hamidun pulak, orang tua sudah tua juga. Walau ga sekota tinggalnya, kan tetep aja mau semua sehat dan terlindung, lagi pula, masih ada kemungkinan adikku pulang ke Depok dulu sebelum ke Balongan. Kami berucap syukur, tapi ga ada sama sekali kepikiran bahwa si virus bisa menjadi "game changer" seluruh dunia.

Tengah sampai akhir Februari 2020, kalau ga salah, sudah mulai ketar ketir sendiri karena sudah heboh pemberitaanya, walau di Indonesia belum aware (pemerintahnya). Saya ga ingat betul kapan virus pneumonia Wuhan berganti nama jadi Covid-19. Saya juga ga kepikiran macem-macem, hanya memang selalu berdoa untuk dijaga kesehatan dan keselamatannya, semua keluarga.

Awal maret, 2 Maret! Saya ingat banget karena lagi di Kemenkes bahas stunting sih, tapi gosipin Covid ini makin heboh. BANG BANG! DOR! Kasus 1 confirmed ditemukan, di Depok. Ampun. Lalu, kok ya makin lama makin heboh di Bulan Maret ini. Nah, yang jadi kepikiran adalah, mamam gimana gue ke RS buat kontrol dan melahirkan nanti. Huft. Notabene, RS itu lah yang menjadi medan perang Covid sesungguhnya. Mau ikutan kelas persiapan melahirkan dan hypnobirthing sama Bu Lanny juga terpaksa batal karena covid, padahal, yha di masa pandemik ini kayaknya butuh zen beut khan ya shay. Lagipula, butuh self healing gitu kayaknya karna hidupnya agak agak traumatis LOL.

Sayangnya, aku tinggal di Depok, jadi sudah tau lah ya, semua RS rujukan Covid. Dokter saya saat itu juga di Depok semua (sempet ke Mitra -ga puas, jadi pindah ke Bunda, walau dulu sebelom hamil pernah ke Bunda dengan dokter yang beda-again, ga puas jadi ga lanjut). Dokter di Bunda ada di sebuah klinik bersalin juga sih, tapi rujukan dia kalau misal amit-amit perlu emergency, ya di RSU semua, ada kemungkinan paparan khan. Setelah galaunya minta ampun, akhirnya kami sepakat untuk mencari dokter lain. Di usia kehamilan 7 bulan, bahkan harus memutuskan hal yang kayak gini. Huks sayang sekali.

Akhirnya kontrol gimana dong ya, padahal sudah jadwalnya harus kontrol, terakhir usia kehamilam 6 bulan kontrol. Nah, setelah konsultasi dengan dokterku yang di Bunda itu, aku dibolehkan tunda kontrol kalau ga ada keluhan, kalau mau kontrol ke beliau di Klinik bersalinya, harus nunggu 9 bulan dulu. Yha lama dong.

Apakah mencari dokter baru di trimester akhir kehamilan di masa pandemik mudah? Tentu TYDAC! Ada syarat harus perempuan dari suami haha, nah, tambah terbatas. Sudah bulan ke 7 menuju 8! Masalah baru, katanya RSUD Depok tutup karena paparan covid, wah makin fix ga mau di Depok karena semua faskes pasti jd penuh ga sih? Logika awamku. Terus saking parnonya, kami survey protokol Covid tiap RS dan klinik bersalin yang ternyata beda. Ada yang ga usah tes, ada yang pake rapid cukup, ada yang harus swab, ada yang tambah biaya apd gitu, dsb. Bahkan, perkara dokter, bidan, dan susternya pake baju kek mana gue tanya dong ke setiap pilihan RS, protokol cuci linen dan service cateringnya piye. Dan yang paling highlight adalah, dokter perempuan inceran di RS inceran gue - Harkit, dia juaranggggg banget praktek. Sekalinya praktek, hanya pasien lama ato ga 36 weeks ke atas. Ga jodoh. Lama lama ga kerasa usia kehamilanku menuju 8 bulan beneran.

Kalau mau sama dokter di klinik bersalin itu, harus nunggu 9 bulan. Tapi, ada feeling yang kuat, aku harus kontrol. Ya kali skip kontrol 3 bulan, sudah lah, 2 bulan aja kepikiran terus sama baby. Kebetulan, aku akhirnya ikut kelas persiapan melahirkan dari birthimwithu. Nah, disitu semua kuncennya Tembuni haha. Jadilah aku kepo, ternyata, ada dokter perempuan yang praktek di Tembuni (klinik), KMC(RSIA) dan juga di BWCC(klinik) sekaligus. Yha, kalau ga mau lahir di Tembuni, di BWCC bisa, klo emang ga cocok atau amit amit ada emergency, rujuknya ke RSIA! Sempurna sekali, pikirku. Galau masalah protokol emang jadi salah satu pertimbangan pilih lahir di rsia atau rumah bersalin. Haha.

Usia kehamilan 34 weeks, 8 bulan lewat bok! Baru kontrol lagi ke dokter, kali ini coba ke Tembuni. Asik dokternya. Saat itu, bayi ku masih di atas a.k.a Sungsang. Ga mikir aneh2, ya usaha aja nungging-nungging, sujud-sujud, yoga dll, kata temen ku toh seminggu udah balik, sambil afirmasi ke baby. Kulakukan semua, sambil masih kerja kejar deadline, jadi ga berasa kepikirian apa apa lah. Shantuy.

Karena dokternya asik,usia kehamilan 36 weeks - 2 minggu selanjutnya aku kontrol lagi, tapi mau coba liat ah BWCC kayak apa sih. Kali aja mau lahiran di sana khan. Memasuki Bulan ke 9. Ke BWCC. Ternyata kliniknya lagi rame, jadi kurang nyaman gitu. Kebetulan dikonfirmasi sama suami ku juga dia kayaknya kurang sip istrinya lahiran disana. Hehe yowis. Usia kehamilan 9 bulan bok, masih galau mo lahiran di mana. Call me libra meets covid situesyen! Akhirnya mantap kami berencana ke Tembuni ajah, or KMC pilihan RS nya. Dalam Bab protokol Covid sih KMC masih mending karna ada rapid. Tembuni, walo ga ada protokol covid, kayaknya enak aja lahiran berasa staycation, secara udah lama ga staycation. Haha. Okay.

Hasil dari kontrol 36 weeks, bayi masih sungsang. 9 bulan tuh, wow. Tarik napas, gue juga masih optimis bisa ke bawah lah kepala bayi ku. Dokter bilang tenggat waktu 38 weeks. Udah harus SC klo masih sungsang. Sekarang, sudah harus kontrol mingguan. Bhaique. Minggu depan ku balik ke sini.

Usia kehamilan 37 weeks, ke BWCC lagi kontrolnya. Hasil kontrolnya, masih sungsang. Udah agak deg-deg an dan siap siap mental. Aku sih selalu doa yang penting ibu, bayi dan bapaknya sehat dan selamat dari marabahaya. Jadi masalah sc dan per vaginam itu ga pernah kepikiran sedikit pun, tapi, kok gue pusing aja nih mendadak di 37 weeks abis kontrol di BWCC sabtu pagi itu. Pertama, khawatir, kalau operasi bayarnya deg-degan, karena RS depok kan Covid, lah di Jaksel itu harganya mak bikin puyeng LOL serius ini yang pertama kepikiran entah kenapa hahaha. Kedua, lu tau ga sih perasaan orang yang  terakhir kali masuk RS diinfus itu pas SD, lah skrg mendadak mesti operasi gimana kepolosannya dan ketakutanya? Pengecut yak gua haha. Ketiga, well, yha, kalau abis operasi sakit, bisa ga ya gue menghadapi post partum sendiran meaning no mba yang bantu bantu.

Dari kekhawatiran yang cuma 3 itu, muncul lah yang lain, kok kalau operasi sama dokternya, di rumah sakit itu, kurang klik ya? Ampun, dari mana coba pikiran itu. Mungkin karena ku baca baca KMC suka insisi tounge tie seenaknya, dan mahal lagi haha. Memang dokterku saat ini kurang senior sih, tapi ya entah gimana lah, saat itu menjelang idul fitri, hari gue berasa gelap mo ngadep doi lagi, rasanya sungkan karna gue dah tau jawaban dia kalau baby masih sungsang di 38 weeks, sudah bilang terminasi lah, fufufufu. Sementara gue mikir, like, no no no no tunggu dulu! Aku aja belom cuti. Doh. Belum cuci baju bayi, belum siap.

Usia kehamilan 37 weeks, abis kontrol, ku masih pusing masalah lahiran, haha, tapi yha jalanin aja lah, yang tau gue, pasti tau kecuekan gue. Sementara cuma punya bayangan Tembuni atau KMC, udah pasrah aja nanti baby yang pilih sendiri lahir di mana. Kalau kepala di bawah, ke tembuni, kalau sc ya KMC. Tapi, keluarga gue malah bilang, di Asih bisa operasi kok RS kecil gitu. Haha au ah, masa udah dipenghujung waktu kehamilan cari dokter baru ke RS baru.

Nah, gong nya nih, besok paginya setelah kontrol 37 weeks. Semua badan gueeeee gatel gatel. Bentol-bentol parah, dan strechmark muncul. Haha sebelomnya dengan polos gue sempat membatin, strech mark kek mana ya, kok kayaknya alhamdulillah ga ada nih gue. Wis, pokoknya aku gelisah karena bentol itu sekujur tubuh. Browsing, kena PUPPP. Tsk ada ada aje. Diskusi sama suami, malah nangis nangis kejer karena entah apa. Sampai suami saya bingung sekali ni mak mak hamil kenapa. Orang bilang sih, semua trauma akan muncul menjelang persalinan dalam bentuk yang kita gatau apa. Selesai nangis, akhirnya, sehari setelah itu aku putuskan, ada yang salah dalam diriku. 9 bulan menjalani kehamilan dengan hepi, ga ada masalah, tapi di akhir kehamilan, di bulan terakhir, muncul semua masalah. Browsing-browsing ku mesti gimana ya enaknya, menghadapi masalah yang terlihat dan tak terlihat. Haha. Akhirmya ku putuskan ke tempat Bidan Erie. Mau ke Bu Lanny sih, tapi jauh lagi Covid dan psbb, serta keraguan lain. Duh. Memang covid ada ada aja.

Tujuan ku ke Budhe Erie sih cuma menenangkan diri dan mencari pendapat yang menguatkan ku. Saat itu, pengen self healing dan juga coba tanya pendapat dia. Lucunya, dari awal hamil ga mau tiap bulan ke dokter, pengen ke bidan Erie aja, tapi au dah ga jadi2 tuh. Eh malah di akhir kehamilan ku jadi ke sana. Lucu banget. Long story short, setelah aku diajarin self healing (setelah sebelumnya curhat bercucuran air mata haha), dia juga setuju, kalau pun sc masih bisa menunggu kok. Kenapa ngga? Coba ke dokter Musa, praktek di Asih, RSIA loh, bukan rujukan covid, dokter senior, bagus, sering nolong orang sungsang dan punya berbagai macam pengalaman mau normal ataupun sc, sering banget pasien kayak kamu diujung2 ke sana. Suami ku yang dari tadi dengerin aku nangis nangis dan kalimat akhir Bidan Erie itu, hanya mengangguk ngangguk. Aku? BANG BANG! DOR!

Harusnya, kalimat akhir itu bukan apa apa bagi kami. Dr Musa kan laki-laki, bukan kriteria sama sekali. Tapi, lucunya, kok pas banget, sebelumnya Bapakku bilang lahiran di Asih aja. Lah, ini kenapa bidannya sebut tuh RS. Dan tau ga, sempet banget sih, dulu aku pengen namain anakku Musa, tapi ga jadi karena sepupu dah duluan namain anaknya gitu. Haha. Nah, lagi menjelang lahiran gini, namanya (calon) mak mak, percaya, ga ada yang namanya kebetulan. Ngerengeklah ke suami di 38 weeks pengen ke dr Musa ajah karena berbagai alasan (sepele) itu.

Suami akhirnya setuju, ke dr Musa di RSIA Asih hanya untuk kontrol, bukan lahiran. Dia pengen isterinya (kalaupun harus) dioperasi sama dokter perempuan. Aku, sebaliknya, sehabis kontrol, like "ini dia dokter yang kucari selama ini". Dalam hatiku, kayaknya udah fix aja ke dr Musa karena senior seumuran bapakku, ibarat kata, ya gue udah percaya aja lah ke beliau mau keputusannya apa aja, belek aja perutku, saya percaya dokter. Sedikit intermezo, jadi gue sempet slek sama dokter di Mitra, dan duluuu banget sebelum hamil, sempet coba dokter lain di Bunda tapi juga agak kurang puas. Memang sejak saat itu, aku pikir dokter laki-laki emang lebih asik tapi ga pernah juga kepikiran bener bener ke dokter laki-laki.

Nah. Tapi, gataunya, surprise! abis 38 weeks control, suami ku setuju sama dr Musa ajah lahirannya. Wow! Bahkan sudah aterm, bisa lahiran kapan aja, ini ada modelan kayak gue baru nentuin dokternya siapa. Alamak.

Jangan sedih, apakah pencarian rumah sakit tempat lahiran bisa semulus itu? Tentu terkait covid ini, masalah ini ada ceritanya sendiri! Ku cerita di part 2 yah!

No comments:

Post a Comment