Monday 11 September 2017

Yakin, Kuliah di Luar Negeri?

Hey, hey, tidak seperti biasanya saya share informasi melalui platform ini, jangan kaget kalau pada kesempatan kali ini saya mau share informasi juga sih, tapi dalam bentuk curhatan. Oops. Saya ga yakin banyak yang baca (ga kayak kalau review vendor nikahan, haha!) jadi saya pede aja nulis curhatan ini. Lagi pula namanya juga blog: personal diary ga sih? Suka-suka lah ya mau diisi apa hehe

Begini.. Akhir-akhir ini saya memang sensitif sekali karena homesick. Ya, saya akui saya mungkin homesick karena sudah sebulan lebih ga ketemu suami karena cintakuwh mentok di visa. Menyakitkan memang (halah) apabila biasanya sebulan sekali bisa ketemu, tapi karena kesibukan disertasi suami dan unfortunately visa saya habis periodenya kami harus menundanya sampai minggu ini aja dong plis! Semoga cepet granted ya visa saya, aamiin. Setiap hari melow galaw gitu deh ceritanya. Hal ini sangat mengganggu saya, terlebih lagi saya jadi sering curhat aneh-aneh ga jelas di instastory, haha ya memang instagram adalah satu-satunya (dulu) platform yang masih saya gunakan untuk posting foto, curhat di instastory, kepoin orang hehe. Path udah bhay. Twitter juga. Facebook sudah saya set untuk postingan pribadi ajah jadi di timeline ga ada yang baru untuk publik. Dan karena sekali lagi sering curhat di social media itu mengganggu saya secara pribadi, karena space yang terlalu terbatas, padahal saya mau menumpahkan semuanya haha aneh. Kan ganggu dan terkesan galau banget. Gak kece deh. Nah. Sekarang akhirnya deactivate account instagram juga deh. Walaupun untuk kepo raisa-hamish dan bella-emran serta kirana tak lupa gempita saya masih pakai akun IG suami saya. Ya seenggaknya ga tergerak hati buat curhat karena bukan akun saya lah ya.

Karena alasan kesensitivitasan meningkat, saya pun merasa bahwa saya jadi sering sekali merenung. yang saya renungi tentu keputusan saya yang mengakibatkan semua kegundahan ini terjadi yaitu: Kuliah di Luar Negeri.

Seingat saya, keinginan yang satu ini sudah ada di salah satu resolusi yang saya tulis dari bangku SMP. Walaupun dulu cuma tau Oxford dan Harvard University (tunggu, jangan-jangan cuma tau Oxford) jadilah saya tulis mau sekolah di SMAN 8 Jakarta, Universitas Indonesia, dan Oxford University. Keinginan iu menguat setelah masuk SMA, karena banyak teman-teman mau kuliah di Singapura dan Jepang yang nge-trend di kalangan anak-anak pinter di SMA itu. Ditambah dengan buku novel yang sering saya baca, ada Andrea Hirata, Muhammad Assad, terus juga kebanyakan nonton film barat kali ya. Lalu, sampai akhirnya saya harus cari kerja. Sadar kemampuan diri yang terbatas bahkan di bidang saya sendiri karena kuliah S1 kayaknya taken for granted ajah, bahasa inggris pas-pasan. Udah gede, tapi belom pernah lepas dari orang tua (di depok terus cyin), kerjaannya ngojek terus manjah, ngaret terus, kerja kadang suka telat (ya abis sebel disuruh lembur terus, lah curhat lagi), malu gak bisa masak, kalau dilamar orang gimana haha dan sebagainya. Di situ saya merasa kualifikasi saya ini sepertinya memang butuh ilmu tambahan. Ilmu tentang ilmu dan ilmu tentang hidup. Yes. Sesimpel itu kayaknya pengen jadi orang yang lebih baik dari segi ilmu dan segi hidup (yang sedikit berantakan itu). Pengen jalan-jalan? Ya emang itu udah prinsip ajah dari dulu ga pernah mau jalan-jalan kalau ga murah meriah.

Setelah alhamdulillah terkabul bisa mendapat nikmat sekolah di SMAN 8, UI, dan akhirnya Oxford Wageningen University and Research, pertanyaannya adalah: apakah semua motivasi kuat dari diri menjadi lebih baik dan segala romantisme masa remaja itu cukup untuk membuat saya bertahan menjalani kuliah di luar negeri? Saya bisa dengan yakin menjawab tidak.

Nyatanya, apabila segala jerih payah yang kamu lakukan demi sebuah cita-cita mulia menuntut ilmu sampai ke negeri China selalu gagal, kamu hanya perlu bersabar menunggu besok ajah. Bisa jadi gagalnya upaya kamu karena kamu disuruh kerja dulu ajah menikmati pahit getirnya Jakarta, ya kalau kerja di Jakarta sih ya. Wakakak. Well, kalau ga kerja di jakarta, ya kamu harus sabar dengan ujian lengangnya waktu mungkin? Mungkin loh ya. Tapi kerja di Jakarta memang keras sih menurut saya, demi keluarga dan tabungan dunia akhirat, ya mau ga mau harus kerja aja dengan sabar, hari demi hari menunggu jadwal daftar beasiswa selanjutnya. Hari-hari itu indah juga sih, bisa nabung nyicil mobil, rumah, atau nabung buat mahar lamar anak orang, atau sekedar nikmatin semua jajanan hitz Go Food sukur-sukur patungan sama aktivis-aktivis lain buat majuin foundation sendiri!

Nyatanya, apabila angan-angan kuliah di universitas impian harus berbelok ke universitas sebelah, kamu hanya perlu bersabar menjalaninya. Ya sambil lirik-lirik peka ajah. Jangan-jangan bisa ketemu jodoh ya ga sih? Hmm atau bisa jadi karena nanti anak kamu bakal lahir di situ. Ya namanya juga misteri ilahi. Kita bisa atur apa? Kayaknya sih ngga bisa.

Nyatanya, kalau semua orang meragukan keputusanmu untuk melangkah lebih maju hanya karena katanya mereka lebih berpengalaman, meragukan kemampuanmu, meragukan pilihanmu adalah hal yang baik bagimu karena mereka paling tahu segala hal, merasa bahwa kamu akan berburu dengan waktu, lelah, depresi, dan tak kuasa menanggung rindu cuma karena mereka peduli terhadapmu. Kalau semua orang sepertinya begitu, kamu hanya perlu bersabar. Bisa jadi mereka salah. Kalaupun semua benar adanya, hmmm well, siapa yang lebih tahu dari Maha Tahu dan Maha Pemberi Jalan Hidup?

Nyatanya, kalau akhirnya setelah mulai kuliah, baru hari pertama kamu sudah menyesal memutuskan kuliah lagi. Selamat, anda beruntung, karena ada juga orang yang di pesawat menuju belanda nangis kalau bisa ga jadi kuliah. Tapi orang yang nangis di pesawat itu juga lebih beruntung dibanding seseorang yang baru sampai Soekarno-Hatta Airport aja udah sedih, kalau bisa keluarganya ikut juga. Mereka adalah orang-orang yang harus bersabar dan menunggu beberapa bulan saja untuk bisa merasakan homesick yang lebih buruk lagi di depan sana. Haha.

Nyatanya, misalkan kamu sudah bisa menerima semua dengan tenang dan siap menatap buku-buku dan studi kasus yang aneh-aneh, jangan sedih jangan stress karena kamu akan ketemu teman-teman diskusi yang batu-batu yang bikin tambah stress, mentor yang sok tahu yang bikin tambah pucing. Sabar. Karena kamu pasti akan bisa melewatinya. Kamu pasti bisa, hanya kurang percaya diri dan belum kuat mental ajah. Ga usah dipikirin. Besok juga ketemu lagi yang lebih aneh dan bikin tambah pressure nya. Lebih parah, bayang-bayang re-sit atau re-exam atau remed men. Lebih parah lagi lagi dan lagi, kalau kampus ga ada gituan, ya bisa aja anuan. Bhay aja di kick. Lebih serem dari cerita horor.

Nyatanya, kalau kamu berharap bisa bersosialisasi dengan bule atau keluarga Indonesia di tempat kamu merantau biar ga kesepian, tapi akhirnya kamu menemukan diri kamu lebih nyaman dengan duniamu sendiri, kamu frustasi kenapa malah hal seperti itu yang terjadi, kamu harus lebih banyak bersabar. Bisa jadi, itu adalah tindakan preventif membuat homesick lebih parah. Merasa klausa puitis "kesepian di tengah keramaian" bukan hanya ada di lagu-lagu galau tapi nyata dalam hidup kamu? Mungkin saja, benar-benar sendiri lebih baik dari pada kamu kongkow-kongkow tapi malah bisa bikin video klip galau gitu.

Nyatanya, bahkan udah pusing sama urusan-urusan itu, social pressure untuk mau ngapain habis lulus juga datang dari segala penjuru. Ekspektasi-ekspektasi yang begitu tinggi itu terkadang melupakan bahwa lulusan luar negeri juga manusia. Lah, tapi ini belum lulus juga sih, sabar dikit joss.

Dan. Ternyata, kalau tugas akhir semakin membuat kamu kangen semuanya, membuatmu hampir putus asa karena harus rombak proposal gara-gara supervisor juga (kayaknya) bingung mau di bawa ke mana hubungan proyek kita, membuat kamu gatau lagi mau nulis apa, buntu ide, merasa bosan setiap hari ngerjain itu lagi-itu lagi, ketemu problem itu lagi-itu lagi. Bersabar. Nulis yang lain aja dulu, curhat di blog juga bisa. Gak dosa.

Jadi, sesungguhnya kuliah di luar negeri merupakan sebuah ujian yang kuncinya adalah satu. Bersabar. Sabar ini harus dimulai dari saat pertama kamu berani mendeklarasikan keinginanmu, berusaha mencapainya, dan bersusah payah menyelesaikannya. Punya track record bagus, motivasi kuat saja tidak cukup. Apabila kantung-kantung (atau kantong-kantong sih?) sabar kamu masih kurang spacious, investasikan mulai saat ini untuk menambah kapasitasnya. Minta terus kepada Allah yang memberikan kekuatan untuk bersabar.

So, yakin kuliah di luar negeri?
_________________________
Well, rencananya tulisan ini adalah satu pengantar untuk series tulisan lainnya: informasi kuliah. Nantikan ya?